Hari gini yang punya TV pasti nggak asing sama tontonan yang namanya
sinetron. Sinema elektronik atawa sinetron –istilah ini diperkenalkan
pertama kali oleh Bapak Soemardjono, salah satu pendiri Institut
Kesenian Jakarta (IKJ)-udah jadi menu sehari-hari yang buat sebagian
orang kudu dinikmati. Mau yang sinetron sekali tayang habis ala FTV atau
yang stripping beratus episode ala Cinta Fitri ada penggemarnya
sendiri. Atau sinetron yang diimpor dari luar Indonesia kayak telenovela
yang asalnya dari Amerika Latin atau soap opera alias opera sabun yang
lahir pertama kali di Amerika, plus drama seri Asia yang diisi akting
para artis Korea, Taiwan, dan Jepang, semua makin bikin warna sinetron
di Indonesia beragam, banyak pilihan.
Banyak yang suka
sama sinetron karena cerita sinetron yang bikin orang penasaran. Tiap
episode berakhir dengan cerita yang dibuat ngegantung, bikin orang
geregetan dan “nagih” untuk besok nonton lagi. Plus juga
pemain-pemainnya yang cantik-cantik en ganteng bikin tangan makin nggak
sanggup pencet remote pindah channel.
Tapi ternyata nggak semua
masyarakat merespon keberadaan sinetron ini dengan suka. Ada juga
sebagian masyarakat yang memilih untuk nggak nonton sinetron apalagi
yang produk dalam negeri. Bahkan ada yang sampai bikin gerakan “Anti
Sinetron”!
Kalau dicek n crosscek ketidaksukaan sebagian
masyarakat terhadap sinetron wajar-wajar aja. Karena produk sinetron
yang ada kebanyakan emang nggak bikin orang tambah pinter ngeliat
hidupnya dan hidup orang lain. Nggak tambah bijak dan lihai untuk bisa
ngejadiin diri cari solusi untuk permasalahan hidup yang sedang
dihadapi.
Loh kan sinetron emang bukan media pendidikan kan?
Sinetron kan emang peruntukkannya cuma untuk menghibur. Gitu sih
ngelesnya. Iya sih. Sinetron emang dibikin untuk menghibur, tapi kan
bukan berarti melupakan unsur pendidikan. Contohnya –ini contoh yang
sering banget dipake, karena selain yang ini nggak ada lagi yang lain
hehe..- sinetron Kiamat Sudah Dekat, Lorong Waktu, atau Para Pencari
Tuhan. Lewat sinetron-sinetron tersebut banyak cerita keseharian
ditampilkan plus bagaimana contoh penyelesaiannya sesuai dengan syariat
Islam. Orang nggak ngerasa diguruin, nggak ngerasa diceramahin, tapi
bisa dengan baik bercermin.
Sayangnya nggak banyak
sinetron yang semacam itu. Ada juga sih sinetron yang mencoba tampil
islami, apalagi seperti pada Ramadhan kemarin. Tapi karena global
idenya masih yang kebanyakan: perseteruan karena warisan, harta,
perempuan, dan mistis hantu-hantuan, walhasil nama Allah, ayat-ayat
Allah yang digunakan di tiap adegan jadi tampak garing. Nggak ada “ruh”
yang ditampilkan, bahkan bertentangan dengan syariat Islam.
Sinetron dihujat, rating tetap nanjak?
Nah,
ini fenomena lain dari sinetron di tanah air. Banyak kejadian
sinetron yang isinya dinilai banyak pihak nggak mutu tapi ratingnya
tinggi. Kesimpulannya, tontonan yang nggak mutu juga banyak penontonnya.
Berarti penontonnya juga banyak yang nggak mutu dong. Bisa jadi. Bener
nggak tuh? Harusnya bener kan? Glodak!
Tapi, ada temuan nih yang
bilang kalo rating bisa juga direkayasa. Rating yang jadi “tuhan” di
jagad sinetron ternyata nggak melulu presentasi dari pilihan penonton.
Apalagi mengingat lembaga perating tayangan televisi di Indonesia itu
hanya diisi oleh AC-Nielsen yang asal Amerika. Posisi monopoli bisa
memungkinkan segala praktek di luar kelaziman karena nggak ada yang
bisa kontrol.
Jadi nggak seutuhnya bener kalo sinetron booming
karena mengikuti keinginan pasar, keinginan masyarakat. Jangan-jangan
masyarakat lah yang dikondisikan untuk mau nerima sinetron dengan
segala jenisnya itu. Sama seperti dulu masyarakat yang semula nggak
peduli sama urusan gosip via layar kaca, sekarang malah ketagihan
infotaintment.
Nah lho! Kok bisa? Coba deh kita sama-sama teliti
tulisan Steven Sterk yang merupakan nama samaran dari karyawan yang
sudah bekerja 6 tahun di AC Nielsen. Teliti sebelum menyimpulkan, dan
teliti dengan menghubungkannya dengan fakta yang ada di hadapan. Siap?
Oke, ini dia.
Tujuh fakta di balik AC-Nielsen:
Pertama,
AC Nielsen Indonesia tidak memiliki tenaga handal profesional yang
direkrut dari luar negeri demi menjaga kerahasiaan sistem mereka,
seperti yang selalu diklaimnya. AC Nielsen Indonesia yang sekarang
banyak ditangani oleh para pekerja Indonesia, yang sebagian besar dari
mereka adalah fresh graduated (sebagian besar adalah lulusan statistik
dan matematika). Sehingga kerahasiaan sistem mereka sebenarnya tidak
benar-benar seperti benda suci yang selalu mereka jaga kerahasiaannya.
Mereka banyak merekrut tenaga dari dalam negeri dengan anggapan bahwa
tenaga dari Indonesia adalah jauh lebih murah dibanding mempekerjakan
tenaga dari negara mereka yang sudah berpengalaman. Bahkan Hampir
setengah dari tenaga lapangan AC Nielsen adalah para mahasiswa yang
belum lulus dengan hitungan tenaga magang. Sehingga dengan tujuan
efisiensi pada sumber daya manusia, mereka bisa lebih banyak mendapat
keuntungan.
Kedua, dengan banyak merekrut tenaga kerja
baru lulus kuliah dan mahasiswa magang, AC Nielsen banyak memberikan
toleransi kesalahan data. Terutama data-data yang ada di lapangan.
Sering sekali saya alami penyimpangan data terjadi hanya karena
keteledoran SDM semata-mata.
Ketiga, untuk pemilihan
demografis responden rating televisi cenderung dilakukan dengan
asal-asalan. Dan tidak diusahakan pemerataan pada sebaran datanya.
Misalnya, untuk mengetahui berapa kecendrungan pemirsa untuk tayangan
televisi A, mesti diambil jumlah responden yang seimbang misalnya untuk
kelas ekonomi atas 33,3%, kelas ekonomi menengah 33,3 %, untuk kelas
ekonomi bawah 33,3%, sehingga total 100%. Dengan model seperti ini,
diharapkan angka rating yg didapat adalah lebih obyektif. Namun pada
prakteknya, AC Nielsen Indonesia banyak mengambil data responden
sebagian besar dari kelas ekonomi rendah. Profil mereka sebagian besar
adalah: ekonomi kelas rendah, berpendidikan rendah, tidak mempunyai
pekerjaan, bekerja sebagai pembantu rumah tangga, pedagang kaki lima,
karyawan toko, buruh pabrik, dan lain-lain. Hal ini menjelaskan mengapa
sebagian besar tayangan televisi nasional yang memiliki rating tinggi
justru yang memiliki cita rasa rendah dan apresiasi seni yang rendah.
Seperti tayangan gosip artis, tayangan mistik, film-film hantu, dan
sinetron-sinetron picisan.
Tayangan-tayangan televisi yang justru
bersifat mendidik dan mencerdaskan akan selalu mendapat nilai rating
yang rendah dari AC Nielsen. Kebijakan ini diambil AC Nielsen karena ia
tidak mau membayar uang imbalan untuk respondennya. Sehingga responden
yang diambil adalah kebanyakan dari kaum ekonomi bawah agar bisa
dibayar murah.
Keempat,untuk pemilihan responden secara
geografis juga dilakukan dengan tidak merata. Sebaran data yang
diambilnya tidak pernah dilakukan dengan distribusi yang sama rata
secara nasional, melainkan sekitar lebih dari 60% datanya hanya
terkumpul dari Jakarta saja.
Kelima, sebagai imbalan
(honor), responden rating hanya mendapat souvernir senilai Rp 30,000
s/d Rp 50,000,-saja per bulannya. Sehingga responden cenderung
ogah-ogahan untuk menjaga integritasnya.
Keenam, idealnya
sebuah keluarga atau sebuah rumah yang menjadi responden televisi
menjadi reponden selama 6 bulan saja atau maksimal selama 1 tahun.
Setelah itu AC Nielsen harus mencari responden baru. Secara statistik
hal itu perlu dilakukan demi menjaga obyektivitas data. Agar secara
psikologis, mood responden tidak mempengaruhi data selanjutnya. Namun
pada kenyataannya, seorang responden kebanyakan bisa menjadi responden
selama 7 TAHUN LEBIH. Untuk hal ini adalah murni dikarenakan kemalasan
dari manajemen AC Nielsen untuk melakukan pemeriksaan ke lapangan.
Ketujuh,
para responden rating AC Nielsen sama sekali tidak mempunyai
integritas. Dengan demikian, beberapa oknum televisi beserta oknum AC
Nielsen dapat memberikan “pesanan” kepada ratusan responden sekaligus
agar “memanteng” program televisi tertentu, agar hitungan rating program
tersebut menjadi tinggi. Biasanya jumlah yang diajak adalah sekitar
100 s/d 700 orang dari total 3,500 responden. dengan 700 orang berarti
program tersebut diharapkan sudah memegang rating 1/5 dari total
rating. Biasanya tiap satu kali “memanteng” (demikian sebutannya) tiap
responden meminta bayaran Rp 100,000,-. Sehingga dengan 700 orang x Rp
100,000,-, oknum pihak televisi tersebut hanya mengeluarkan uang Rp
70,000,000 saja per satu kali “manteng”. Dengan begitu angka rating
dapat dimanipulasi dengan mengeluarkan biaya yang relatif murah
sebenarnya bagi para stasiun televisi.
Bro en Sis, saya dapetin data ini dari sebuah blog. Silakan cek di: (
http://illegalblogging.wordpress.com/2009/06/05/%E2%96%A0-kenapa-sinetron-picisan-bisa-masuk-prime-time-rating-palsu-ac-nielsen/)
Nah
gimana menurut kamu setelah meneliti tulisan Steven Sterk di atas?
Nyium-nyium bau nggak sedap “rekayasa” atau “konspirasi” kah? Hehehe …
lebay ya pake bawa-bawa istilah konspirasi? Apapun istilahnya, fakta
di lapang sinetron yang isinya nggak jelas tapi ratingnya teratas emang
nggak jauh dari apa yang dibeberkan oleh Steven. Penyebabnya? Ya
karena “ada main mata” antara pihak TV atau PH dengan AC Nielsen.
Rahasia umum yang masih dianggap tabu oleh sebagian orang untuk dibilang
bukan rahasia lagi.
Behind the scene
Sinetron
bisa ada di layar kaca pastinya dengan proses. Proses berlapis yang
melibatkan banyak pihak. Kalau bicara soal konten cerita ada tiga pihak
yang punya peran penting yaitu produser, sutradara, dan penulis
skenario, selain TV sebagai fasilitator.
Produser punya
wewenang yang sangat besar untuk nentuin mana cerita yang lolos, mana
yang harus direvisi dulu, mana yang harus langsung masuk tong sampah.
Penulis skenario jarang banget punya bargaining position untuk
menyampaikan argumentasi. Ya iyalah, karena produserlah yang punya
fulus. Apalagi TV kadang punya permintaan-permintaan khusus ke PH
(produser) demi upaya penyelamatan rating. Ceritanya harus ditambah
porsi Si Tokoh X, dikurangin di bagian ini, yang bagian itu dihilangin
aja. Begini-begitu. Begitu-begini. Jadi, nggak ada tayangan sinetron
yang asli 100% eksekusi ide dari penulis.
Makanya jadi
berat untuk para penulis idealis untuk bisa tetap mempertahan
idealismenya, yang nggak pengen keyboard-nya dinodai pembodohan
masyarakat. Semua akhirnya runtuh di hadapan kapital alias uang. Hidup
kan butuh duit. Keluarga mau dikasih makan apa kalau nggak ada job
nulis. Muncul dilema.
Kalau yang masih bertahan, pilihannya cuma
dua. Mereka harus berusaha lebih keras lagi, doa lebih khusyuk lagi
untuk bisa nyantol sama produser dan sutradara yang punya visi dan misi
idealisme yang sama, dan itu jaraaa…ng banget. Atau banting stir
nulis yang lain yang dinilai itu bisa menyelamatkan misinya. Ya gitulah
kapitalisme bikin keinginan hidup yang lempeng jadi susah banget.
Semua kudu bertanggung jawab
Masalah
mutu tayangan TV di Indonesia termasuk sinetron nggak cuma jadi
tanggung jawab satu pihak. Pemerintah, pengusaha televisi, PH, juga
masyarakat penonton punya porsi tanggung jawab masing-masing.
Bagi
pengusaha televisi dan PH udah saatnya menginvestasikan modal yang
dimiliki untuk ikut mencerdaskan bangsa. Cerdas yang nggak hanya ukuran
duniawi, materi, tapi juga ukhrowi. Cerdas menjalani hidup sebagai
makhluk Allah Swt.: mampu mengurai permasalahan hidup menggunakan
penuntun yang sudah dianugerahkan Allah yaitu al-Quran dan as-Sunnah
dan mampu menghadirkan solusi itu buat orang lain juga.
Bagi
masyarakat penonton, punya tanggung jawab untuk saling mengingatkan
demi saling meningkatkan kualitas diri. Kualitas sejati sebagai hamba
Allah yang peduli, bervisi kebangkitan dan bermisi perjuangan
bersandar keimanan, seperti yang selama ini diupayakan oleh buletin
kesayangan kamu, gaulislam ini.
Tanggung jawab terbesar ada pada
pemerintah sebagai pihak yang diamanahi untuk mengayomi dan membina
masyarakat. Sabda Rasulullah saw: “Imam adalah pengurus dan ia
bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya.” (HR Muslim dan
Ahmad)
Sudah saatnya para pemimpin negeri ini mengambil
standar yang mapan yang benar-salah, hitam-putihnya jelas dan terang
yaitu syariat Islam. Sehingga tayangan pun bisa disensor atau dinilai
dengan benar-salah yang juga terang. Menutup kemungkinan tumpulnya
gunting sensor. Karena yang jadi korban nantinya juga anak bangsa
sendiri. Jika anak bangsa rusak, negeri ini pun akan terpuruk. Dan,
pastinya bukan itu yang kita semua mau