Selasa, 24 Juli 2012

Cerita Indah Di Balik Cadar





Cadar… Satu kata yang dulu sempat membuat diriku takut untuk mendekati orang-orang yang memakainya. “Mungkin mereka jelek, makanya menutupi wajahnya, atau mungkin dia mempunyai gigi taring seperti drakula ataukah mungkin dia..begini..begini dan begitu”. Begitu banyak pikiran-pikiran yang menghantuiku ketika masih menjadi orang yang belum tahu tentang syari’at Alloh tentang cadar ini.

Sampai suatu ketika Alloh menakdirkanku untuk mengenal sekumpulan akhwat yang bercadar, “subhanalloh” satu kata yang terlontar dari
lisanku waktu itu. Ternyata mereka tidak seperti yang aku pikirkan
selama ini, ternyata cadar merupakan salah satu syari’at dari islam.

Berawal dari perkenalanku dengan para akhwat, disitulah awal mula
diriku mengenal ilmu yang shohih, hari-hari kujalani dengan ilmu-ilmu
yang yang selama ini kuanggap hanya sebatas budaya dan pemikiran
orang-orang belaka. Sedikit demi sedikit kuamalkan ilmu yang telah
kudapatkan, pergaulan antara lawan jenis, musik, ikhtilath, sampai ke
syarat-syarat jilbab yang syar’i pun kulalui dan kuamalkan.
Alhamdulillah, meski banyak rintangan dan cobaan dalam mengamalkannya. Tapi begitulah perjuangan. Begitulah konsekuensi dari amalan yang telah kita ilmui. Tapi untuk masalah cadar, ah, diriku sungguh tak tertarik untuk menggunakannya.

Sempat mempelajari tentang hukum dari cadar dan waktu itu berkeinginan untuk mempelajarinya lebih dalam, tapi teringat akan ucapan bapak, “kamu boleh pakai jilbab yang besar tapi jangan sampai bercadar. Nanti boleh bercadar kalau sudah nikah.” Ya sudahlah mendingan aku ambil hukum yang sunnahnya saja, daripada bapak marah. Toh nanti kalau dah nikah aku akan pakai cadar juga insya Alloh, untuk sekarang ga usahlah, pikirku dalam hati. Akhirnya niat untuk mempelajari hukum cadar lebih lanjutpun aku urungkan.

“Astghfirulloh, apakah jilbab yang sudah cukup lebar ini masih bisa
saja menimbulkan fitnah bagi seorang laki-laki?”

Manusia boleh berencana tapi Alloh lah yang berhak menentukan jalan
hidup kita. Alhamdulillah, hidayah Alloh datang kepadaku, yang awal
mulanya diriku begitu kekeh untuk tidak bercadar, niat untuk
mempelajari hukumnya pun ogah-ogahan, namun Alloh menakdirkan padaku untuk lebih mengetahui tentang cadar ini melalui sebuah fitnah yang kualami di kampus. Seorang teman memberitahukan padaku bahwa ada seseorang yang terfitnah gara-gara diriku. “Astghfirulloh, apakah jilbab yang sudah cukup lebar ini masih bisa saja menimbulkan fitnah bagi seorang laki-laki?” Airmatapun mulai mengalir, bukan karena terharu disebabkan ada orang yang “ngefans” tapi karena merasa bahwa diri ini adalah sumber fitnah. Belum bisa menyempurnakan hijab, tidak bisa menjaga diri, dll. Lama diriku merenung. “Kenapa sampai ada yang terfitnah? Toh aku tak pernah berkomunikasi dengannya? Jangankan berbicara, senyumpun tak pernah.” Apa yang menyebabkan semua itu??Apa??? Wajah… Ya inilah sumber dari fitnah itu… Seketika itu pun diriku bertekad dengan kuat untuk mempelajari hukum cadar, walaupun masih teringat dengan kata-kata bapak, namun tak mengurungkan niatku untuk belajar..

Alhamdulillah, Alloh memudahkan jalanku untuk mempelajari ilmu tentang cadar ini, mulai dari dukungan akhwat, cerita cerita akhwat yang memberikan motivasi, buku-buku yang mereka pinjamkan, sampai ketika salah seorang ustadzah dari Arab datang ke kota Serambi Madinahku buat memberikan dirosah. Sampai suatu hari ketika sang ustadzah telah selesai memberikan dirosahnya, kulihat dirinya sedang duduk untuk istirahat, aku pun mengajak seorang kakak untuk menemaniku berbicara kepada ustadzah tentang masalah cadar (karena ketidaktahuanku bercakap dalam bahasa arab, makanya minta tolong ke akhwat buat jadi penerjemahnya. Syukron wa jazaakillahu khair buat kakak yang membantu diriku saat itu.)

Kakak : “Adik ini ingin bertanya kepada anda wahai ustadzah, dia ingin sekali memakai cadar namun orangtuanya melarangnya, tolong berikan nasehatmu padanya.”

Ustadzah: “Kalau dia meyakini bahwa hukum cadar adalah wajib maka
apapun konsekuensi yang harus dia dapatkan sekalipun orangtua melarang maka dia tetap harus memakainya, tapi ketika dia meyakini bahwa itu hanyalah sunnah maka lebih baik dia mengikuti permintaan orang tuanya.” (Kira-kira seperti itulah percakapan mereka kalau
diterjemahkan dalam bahasa indonesia.)

Sampai suatu ketika keyakinanku mengatakan bahwa cadar itu adalah
sebuah kewajiban.

Hemm. Ternyata, point yang kudapatkan dari pernyataan ustadzah adalah “ilmu sebelum berbuat”. Ya, aku harus mempelajarinya lagi lebih dalam tentang cadar (waktu itu aku masih menganggapnya sebatas sunnah).
Hari-haripun kulalui dengan berusaha mencari tahu tentang hukum cadar.
Mulai dari bertanya ke ustadz, bertanya ke akhwat dan berbagai cara
kutempuh untuk mengetahui hukum sebenarnya dari cadar. Sampai suatu ketika keyakinanku mengatakan bahwa cadar itu adalah sebuah kewajiban.
Tapi bagaimana dengan orangtua? Inilah ujianku selanjutnya. Aku harus berusaha memahamkan kepada mereka sedikit. Akhirnya akupun berusaha menutupi wajah ini sedikit demi sedikit, walaupun belum menggunakan cadar tapi wajah ini sering kututup dengan jilbabku ketika ada seorang laki-laki ajnabi yang lewat dihadapanku. Dan ini berlangsung sampai beberapa hari.

Suatu hari tiba-tiba keluargaku berkumpul di ruang keluarga, bapakku
tiba-tiba mengatakan padaku, “bapak ga mau lihat kamu pakai cadar.”
Tiba-tiba suasana di rumah menjadi tegang (ternyata selama ini bapak
memperhatikanku, karena begitu seringnya aku menutup wajahku dengan jilbab yang kupakai, sampai beliau mengira bahwa aku telah bercadar waktu itu.) Bapak dengan berbagai ucapannya sambil menunjuk-nunjuk ke arahku mengatakan, “bapak ga mau kamu pakai cadar!!!”

“Apapun alasannya, bapak ga mau kamu pakai cadar. Kalau sampai pakai cadar, kamu jadi anak durhaka sama bapak!!!”

“Ga usah suruh temanmu kesini lagi, kalau ada temanmu yang datang,
bapak akan usir.”

Bla..bla..bla… Berbagai macam perkataan bapak pada diriku saat itu.”
Aku bisa paham terhadap ucapan bapak, karena memang beliau kurang paham apalagi beliau jarang bermulazamah dengan ustadz-ustadz. Tapi yang membuatku begitu sedih adalah ketika ibuku mendukung argumen bapak dan juga ikut-ikutan memarahiku dan melarangku. Aku kaget, karena yang selama ini aku tahu bahwa ibu mengenal beberapa ustadz dan teman-temanku yang bercadar. Pikirku waktu itu, ibu mungkin setuju-setuju saja pada saat aku bercadar. Tapi ternyata, ibuku pun melarang dan ikut-ikutan memboikotku. 


Pada hari itu, bertepatan dengan perginya bapak kembali berlayar,
sebelum beliau berangkat beliau datang ke kamarku dan mendapati diriku yang hanya bisa menangis tersedu-sedu dan mengatakan, “Ingat, bapak ga mau kamu pakai cadar!!!” Ya Alloh, sekeras itukah hati bapak, sampai tidak mau mendengarkan penjelasanku tentang cadar, pikirku dalam hati.

Teringat dengan kisah-kisah beberapa akhwat yang juga sempat mengalami kejadian yang sama.

Hari pertama sejak peristiwa malam itu kulalui dengan tangisan di
kamar. Menangis, menangis, dan terus menangis. Satu hal yang membuatku begitu sedih ketika melihat sikap ibuku padaku, dulu ketika ada sebuah masalah yang kuperbuat di rumah hingga membuatku menangis tersedu-sedu. Ibu biasanya langsung datang menghiburku dan mengatakan, “sudahlah nak, nda usah menangis lagi.” Tapi sekarang, seakan-akan beliau bukan ibuku, sikapnya yang keras dan cuek saja melihat diriku menangis tetap tidak mengubah pendiriannya untuk melarangku bercadar.
Jangankan berbicara padaku, bahkan hanya sekedar menyuruhku makan, beliau menyuruh adikku datang ke kamar. Yang bisa kulakukan saat itu hanya menangis dan berdoa pada Alloh. Namun aku yakin bahwa ujian ini akan segera berakhir, entah sehari, sepekan, sebulan, setahun bahkan bertahun-tahun, ya pasti akan berkahir!! Teringat dengan kisah-kisah beberapa akhwat yang juga sempat mengalami kejadian yang sama. Ada yang menyembunyikan cadarnya hingga dua tahun lamanya. Ada yang hampir diusir oleh orang tuanya. Ada yang cadarnya dibakar. Dan berbagai macam ujian yang dihadapi mereka. Namun toh akhirnya orang tua mereka mengizinkan bahkan sekarang mendukung anaknya..

Hey, kamu baru diuji seperti ini, masa mau nyerah begitu saja. Apa ga
ingat gimana perjuangan Rosululloh dan para shahabatnya ketika
memperjuangkan islam??? Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diusir
oleh kaumnya sendiri, kaki beliau berdarah-darah karena dilempar batu. Para shahabat, bahkan ada yang rela tidak diakui oleh ibunya sendiri. Dan kamu ingat Sumayyah? Wanita syahidah pertama yang rela disiksa oleh orang-orang kafir karena memeluk islam, hingga beliau menemui ajalnya. Sekarang lihat dirimu??? Kalau cobaan ini saja bisa membuatmu menyerah dan jauh dari Alloh. Kira-kira ketika kamu hidup pada zaman nabi, apa kamu bisa menjadi salah seorang shahabiyah? Ataukah kamu adalah salah seorang musuh dari islam?

Akupun tersadar setelah melakukan dialog dengan diriku sendiri, segera aku ambil air wudhu dan sholat. Dalam sholat kubaca Surah An-Nashr “innama’al ‘usri yusro..fainnama’al ‘usri yusro” rasanya keyakinan akan pertolongan Alloh semakin dekat itu begitu kuat. Ya, pertolongan itu akan datang fikirku.

Sampai hari ketiga, keadaan di rumah masih tetap sama. Ibu juga
nenekku masih memboikotku. Aku masih saja berada dalam kamar sambil memikirkan cara untuk meminta izin kembali ke bapak. Tiba-tiba
teringat akan cerita salah seorang kakak. Ketika dia ingin
mengutarakan keinginannya memakai cadar kepada orangtuanya, “dek, dulu waktu ana ingin bercadar, orangtua melarang. Namun karena kayakinan yang mantap untuk menutup aurat secara sempurna, akhirnya kutempuh berbagai cara meyakinkan bapak. Dan cara yang kupilih adalah mengirimkan surat ke beliau dengan kalimat yang syahdu, “wahai ayahku. Kutulis surat ini, bla..bla..bla. (Afwan, lupa isi suratnya.)”

Hemmm. Tiba-tiba cara yang ditempuh sang kakak tadi, terlintas di
dalam pikiranku. Tapi bukan melalui surat, hanya sms yang bisa
kukirimkan kepada bapakku untuk menjelaskan kenapa aku ingin bercadar.

“Assalamu’alaikum, pak kabarnya gimna? Semoga bapak baik-baik saja. Maaf sebelumnya jika saya lancang sms bapak, tapi saya sms hanya ingin menjelaskan kenapa saya ingin bercadar. Maaf pak, bukannya saya ingin menjadi anak yang durhaka karena tidak mematuhi perintah bapak, tapi karena keinginan saya yang ingin mengikuti perintah Alloh makanya saya berani untuk memakai cadar. Saya begitu sedih ketika melihat ekspresi bapak yang begitu marah ketika mengetahui bahwa saya ingin bercadar, seakan-akan bapak sangat membenci cadar. Saya tidak ingin bapak seperti itu, karena cadar juga merupakan bagian dari syari’at islam. Dan yang saya pelajari bahwa istri-istri nabi pun pakai cadar, kalau bapak benci cadar artinya bapak juga benci istri-istri Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bla..bla..bla…

Sms yang kukirm begitu panjang, 1 sms sampai 7 layar dan aku mengirimkan sebanyak 3 kali sms. Jadi kalau mau dihitung. Kira-kira aku mengirim sebanyak 21 sms ke bapak.

Beberapa saat setelah kukirimkan sms ke bapak, tiba-tiba ada sms yang masuk ke hp-ku, tapi belum berani kubuka isinya. Sampai akhirnya hpku berdering, ketika kulihat nama yang memanggil ternyata adalah bapakku. Sambil deg-degan kuangkat telpon bapakku, dan siap menerima omelan dari bapak lagi karena kelancanganku untuk meminta izin memakai cadar.

Aku : “Assalamu’alaikum.”

Bapak: “Wa’alaikumsalam, lagi dimana nak???”

Aku: “Di rumah pak. Lagi di kamar.”

Bapak: “Kamu masih nangis??”

Aku: “I..i..iya pak. (Sambil menghapus airmata.)

Bapak: “Bapak dah terima sms dari kamu. Kamu beneran mau pakai cadar???

“Aku: “I..i..iyya pak..”

Bapak: “Ya udah…kalau mau pakai cadar, pakai cadar saja. Asal hati harus lembut ya nak…

“Aku: “Hah??” (Dalam keadaan yang masih belum percaya, tiba2 sikap
bapak berubah 180 derajat.) Beneran pak??”

Bapak: “Iya nak… mana mamamu? Bapak mau bicara.”

Akhirnya bapak bicara ke ibu, dan dari percakapannya ibu mengatakan kalau bapak mengizinkan aku pakai cadar. Ibu dilarang untuk melarangku bercadar. Masih belum percaya dengan keputusan bapak, akupun membaca sms yang dikirimkan bapak kepadaku sesaat sebelum beliau menelponku, “ya udah kalau kamu mau pakai cadar bapak izinkan, ingat ya, hati harus lembut..janji ya..” Alhamdulillah, bapak benar-benar mengizinkanku.

Dan akhirnya. Bismillah. Tepat tanggal 5 Ramadhan, aku pun keluar dari rumah pertama kali dengan menggunakan cadar yang menutupi wajahku. Tak henti-hentinya aku mengucapkan syukur di atas angkot dan airmata terus saja mengalir karena akhirnya pertolongan Alloh datang juga setelah 3 hari diriku harus menangis di kamar tanpa henti. Diboikot oleh orang tua sendiri. Yaa, akhirnya akupun memakainya. Semoga pakaian ini akan terus kukenakan hingga ajal menjemput. Amin, Allohumma amin. “yaa muqallibal qulub tsabbit qalbi ‘ala diinik.“

Cerita Indah Di Balik Cadar





Cadar… Satu kata yang dulu sempat membuat diriku takut untuk mendekati orang-orang yang memakainya. “Mungkin mereka jelek, makanya menutupi wajahnya, atau mungkin dia mempunyai gigi taring seperti drakula ataukah mungkin dia..begini..begini dan begitu”. Begitu banyak pikiran-pikiran yang menghantuiku ketika masih menjadi orang yang belum tahu tentang syari’at Alloh tentang cadar ini.

Sampai suatu ketika Alloh menakdirkanku untuk mengenal sekumpulan akhwat yang bercadar, “subhanalloh” satu kata yang terlontar dari
lisanku waktu itu. Ternyata mereka tidak seperti yang aku pikirkan
selama ini, ternyata cadar merupakan salah satu syari’at dari islam.

Berawal dari perkenalanku dengan para akhwat, disitulah awal mula
diriku mengenal ilmu yang shohih, hari-hari kujalani dengan ilmu-ilmu
yang yang selama ini kuanggap hanya sebatas budaya dan pemikiran
orang-orang belaka. Sedikit demi sedikit kuamalkan ilmu yang telah
kudapatkan, pergaulan antara lawan jenis, musik, ikhtilath, sampai ke
syarat-syarat jilbab yang syar’i pun kulalui dan kuamalkan.
Alhamdulillah, meski banyak rintangan dan cobaan dalam mengamalkannya. Tapi begitulah perjuangan. Begitulah konsekuensi dari amalan yang telah kita ilmui. Tapi untuk masalah cadar, ah, diriku sungguh tak tertarik untuk menggunakannya.

Sempat mempelajari tentang hukum dari cadar dan waktu itu berkeinginan untuk mempelajarinya lebih dalam, tapi teringat akan ucapan bapak, “kamu boleh pakai jilbab yang besar tapi jangan sampai bercadar. Nanti boleh bercadar kalau sudah nikah.” Ya sudahlah mendingan aku ambil hukum yang sunnahnya saja, daripada bapak marah. Toh nanti kalau dah nikah aku akan pakai cadar juga insya Alloh, untuk sekarang ga usahlah, pikirku dalam hati. Akhirnya niat untuk mempelajari hukum cadar lebih lanjutpun aku urungkan.

“Astghfirulloh, apakah jilbab yang sudah cukup lebar ini masih bisa
saja menimbulkan fitnah bagi seorang laki-laki?”

Manusia boleh berencana tapi Alloh lah yang berhak menentukan jalan
hidup kita. Alhamdulillah, hidayah Alloh datang kepadaku, yang awal
mulanya diriku begitu kekeh untuk tidak bercadar, niat untuk
mempelajari hukumnya pun ogah-ogahan, namun Alloh menakdirkan padaku untuk lebih mengetahui tentang cadar ini melalui sebuah fitnah yang kualami di kampus. Seorang teman memberitahukan padaku bahwa ada seseorang yang terfitnah gara-gara diriku. “Astghfirulloh, apakah jilbab yang sudah cukup lebar ini masih bisa saja menimbulkan fitnah bagi seorang laki-laki?” Airmatapun mulai mengalir, bukan karena terharu disebabkan ada orang yang “ngefans” tapi karena merasa bahwa diri ini adalah sumber fitnah. Belum bisa menyempurnakan hijab, tidak bisa menjaga diri, dll. Lama diriku merenung. “Kenapa sampai ada yang terfitnah? Toh aku tak pernah berkomunikasi dengannya? Jangankan berbicara, senyumpun tak pernah.” Apa yang menyebabkan semua itu??Apa??? Wajah… Ya inilah sumber dari fitnah itu… Seketika itu pun diriku bertekad dengan kuat untuk mempelajari hukum cadar, walaupun masih teringat dengan kata-kata bapak, namun tak mengurungkan niatku untuk belajar..

Alhamdulillah, Alloh memudahkan jalanku untuk mempelajari ilmu tentang cadar ini, mulai dari dukungan akhwat, cerita cerita akhwat yang memberikan motivasi, buku-buku yang mereka pinjamkan, sampai ketika salah seorang ustadzah dari Arab datang ke kota Serambi Madinahku buat memberikan dirosah. Sampai suatu hari ketika sang ustadzah telah selesai memberikan dirosahnya, kulihat dirinya sedang duduk untuk istirahat, aku pun mengajak seorang kakak untuk menemaniku berbicara kepada ustadzah tentang masalah cadar (karena ketidaktahuanku bercakap dalam bahasa arab, makanya minta tolong ke akhwat buat jadi penerjemahnya. Syukron wa jazaakillahu khair buat kakak yang membantu diriku saat itu.)

Kakak : “Adik ini ingin bertanya kepada anda wahai ustadzah, dia ingin sekali memakai cadar namun orangtuanya melarangnya, tolong berikan nasehatmu padanya.”

Ustadzah: “Kalau dia meyakini bahwa hukum cadar adalah wajib maka
apapun konsekuensi yang harus dia dapatkan sekalipun orangtua melarang maka dia tetap harus memakainya, tapi ketika dia meyakini bahwa itu hanyalah sunnah maka lebih baik dia mengikuti permintaan orang tuanya.” (Kira-kira seperti itulah percakapan mereka kalau
diterjemahkan dalam bahasa indonesia.)

Sampai suatu ketika keyakinanku mengatakan bahwa cadar itu adalah
sebuah kewajiban.

Hemm. Ternyata, point yang kudapatkan dari pernyataan ustadzah adalah “ilmu sebelum berbuat”. Ya, aku harus mempelajarinya lagi lebih dalam tentang cadar (waktu itu aku masih menganggapnya sebatas sunnah).
Hari-haripun kulalui dengan berusaha mencari tahu tentang hukum cadar.
Mulai dari bertanya ke ustadz, bertanya ke akhwat dan berbagai cara
kutempuh untuk mengetahui hukum sebenarnya dari cadar. Sampai suatu ketika keyakinanku mengatakan bahwa cadar itu adalah sebuah kewajiban.
Tapi bagaimana dengan orangtua? Inilah ujianku selanjutnya. Aku harus berusaha memahamkan kepada mereka sedikit. Akhirnya akupun berusaha menutupi wajah ini sedikit demi sedikit, walaupun belum menggunakan cadar tapi wajah ini sering kututup dengan jilbabku ketika ada seorang laki-laki ajnabi yang lewat dihadapanku. Dan ini berlangsung sampai beberapa hari.

Suatu hari tiba-tiba keluargaku berkumpul di ruang keluarga, bapakku
tiba-tiba mengatakan padaku, “bapak ga mau lihat kamu pakai cadar.”
Tiba-tiba suasana di rumah menjadi tegang (ternyata selama ini bapak
memperhatikanku, karena begitu seringnya aku menutup wajahku dengan jilbab yang kupakai, sampai beliau mengira bahwa aku telah bercadar waktu itu.) Bapak dengan berbagai ucapannya sambil menunjuk-nunjuk ke arahku mengatakan, “bapak ga mau kamu pakai cadar!!!”

“Apapun alasannya, bapak ga mau kamu pakai cadar. Kalau sampai pakai cadar, kamu jadi anak durhaka sama bapak!!!”

“Ga usah suruh temanmu kesini lagi, kalau ada temanmu yang datang,
bapak akan usir.”

Bla..bla..bla… Berbagai macam perkataan bapak pada diriku saat itu.”
Aku bisa paham terhadap ucapan bapak, karena memang beliau kurang paham apalagi beliau jarang bermulazamah dengan ustadz-ustadz. Tapi yang membuatku begitu sedih adalah ketika ibuku mendukung argumen bapak dan juga ikut-ikutan memarahiku dan melarangku. Aku kaget, karena yang selama ini aku tahu bahwa ibu mengenal beberapa ustadz dan teman-temanku yang bercadar. Pikirku waktu itu, ibu mungkin setuju-setuju saja pada saat aku bercadar. Tapi ternyata, ibuku pun melarang dan ikut-ikutan memboikotku. 


Pada hari itu, bertepatan dengan perginya bapak kembali berlayar,
sebelum beliau berangkat beliau datang ke kamarku dan mendapati diriku yang hanya bisa menangis tersedu-sedu dan mengatakan, “Ingat, bapak ga mau kamu pakai cadar!!!” Ya Alloh, sekeras itukah hati bapak, sampai tidak mau mendengarkan penjelasanku tentang cadar, pikirku dalam hati.

Teringat dengan kisah-kisah beberapa akhwat yang juga sempat mengalami kejadian yang sama.

Hari pertama sejak peristiwa malam itu kulalui dengan tangisan di
kamar. Menangis, menangis, dan terus menangis. Satu hal yang membuatku begitu sedih ketika melihat sikap ibuku padaku, dulu ketika ada sebuah masalah yang kuperbuat di rumah hingga membuatku menangis tersedu-sedu. Ibu biasanya langsung datang menghiburku dan mengatakan, “sudahlah nak, nda usah menangis lagi.” Tapi sekarang, seakan-akan beliau bukan ibuku, sikapnya yang keras dan cuek saja melihat diriku menangis tetap tidak mengubah pendiriannya untuk melarangku bercadar.
Jangankan berbicara padaku, bahkan hanya sekedar menyuruhku makan, beliau menyuruh adikku datang ke kamar. Yang bisa kulakukan saat itu hanya menangis dan berdoa pada Alloh. Namun aku yakin bahwa ujian ini akan segera berakhir, entah sehari, sepekan, sebulan, setahun bahkan bertahun-tahun, ya pasti akan berkahir!! Teringat dengan kisah-kisah beberapa akhwat yang juga sempat mengalami kejadian yang sama. Ada yang menyembunyikan cadarnya hingga dua tahun lamanya. Ada yang hampir diusir oleh orang tuanya. Ada yang cadarnya dibakar. Dan berbagai macam ujian yang dihadapi mereka. Namun toh akhirnya orang tua mereka mengizinkan bahkan sekarang mendukung anaknya..

Hey, kamu baru diuji seperti ini, masa mau nyerah begitu saja. Apa ga
ingat gimana perjuangan Rosululloh dan para shahabatnya ketika
memperjuangkan islam??? Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diusir
oleh kaumnya sendiri, kaki beliau berdarah-darah karena dilempar batu. Para shahabat, bahkan ada yang rela tidak diakui oleh ibunya sendiri. Dan kamu ingat Sumayyah? Wanita syahidah pertama yang rela disiksa oleh orang-orang kafir karena memeluk islam, hingga beliau menemui ajalnya. Sekarang lihat dirimu??? Kalau cobaan ini saja bisa membuatmu menyerah dan jauh dari Alloh. Kira-kira ketika kamu hidup pada zaman nabi, apa kamu bisa menjadi salah seorang shahabiyah? Ataukah kamu adalah salah seorang musuh dari islam?

Akupun tersadar setelah melakukan dialog dengan diriku sendiri, segera aku ambil air wudhu dan sholat. Dalam sholat kubaca Surah An-Nashr “innama’al ‘usri yusro..fainnama’al ‘usri yusro” rasanya keyakinan akan pertolongan Alloh semakin dekat itu begitu kuat. Ya, pertolongan itu akan datang fikirku.

Sampai hari ketiga, keadaan di rumah masih tetap sama. Ibu juga
nenekku masih memboikotku. Aku masih saja berada dalam kamar sambil memikirkan cara untuk meminta izin kembali ke bapak. Tiba-tiba
teringat akan cerita salah seorang kakak. Ketika dia ingin
mengutarakan keinginannya memakai cadar kepada orangtuanya, “dek, dulu waktu ana ingin bercadar, orangtua melarang. Namun karena kayakinan yang mantap untuk menutup aurat secara sempurna, akhirnya kutempuh berbagai cara meyakinkan bapak. Dan cara yang kupilih adalah mengirimkan surat ke beliau dengan kalimat yang syahdu, “wahai ayahku. Kutulis surat ini, bla..bla..bla. (Afwan, lupa isi suratnya.)”

Hemmm. Tiba-tiba cara yang ditempuh sang kakak tadi, terlintas di
dalam pikiranku. Tapi bukan melalui surat, hanya sms yang bisa
kukirimkan kepada bapakku untuk menjelaskan kenapa aku ingin bercadar.

“Assalamu’alaikum, pak kabarnya gimna? Semoga bapak baik-baik saja. Maaf sebelumnya jika saya lancang sms bapak, tapi saya sms hanya ingin menjelaskan kenapa saya ingin bercadar. Maaf pak, bukannya saya ingin menjadi anak yang durhaka karena tidak mematuhi perintah bapak, tapi karena keinginan saya yang ingin mengikuti perintah Alloh makanya saya berani untuk memakai cadar. Saya begitu sedih ketika melihat ekspresi bapak yang begitu marah ketika mengetahui bahwa saya ingin bercadar, seakan-akan bapak sangat membenci cadar. Saya tidak ingin bapak seperti itu, karena cadar juga merupakan bagian dari syari’at islam. Dan yang saya pelajari bahwa istri-istri nabi pun pakai cadar, kalau bapak benci cadar artinya bapak juga benci istri-istri Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bla..bla..bla…

Sms yang kukirm begitu panjang, 1 sms sampai 7 layar dan aku mengirimkan sebanyak 3 kali sms. Jadi kalau mau dihitung. Kira-kira aku mengirim sebanyak 21 sms ke bapak.

Beberapa saat setelah kukirimkan sms ke bapak, tiba-tiba ada sms yang masuk ke hp-ku, tapi belum berani kubuka isinya. Sampai akhirnya hpku berdering, ketika kulihat nama yang memanggil ternyata adalah bapakku. Sambil deg-degan kuangkat telpon bapakku, dan siap menerima omelan dari bapak lagi karena kelancanganku untuk meminta izin memakai cadar.

Aku : “Assalamu’alaikum.”

Bapak: “Wa’alaikumsalam, lagi dimana nak???”

Aku: “Di rumah pak. Lagi di kamar.”

Bapak: “Kamu masih nangis??”

Aku: “I..i..iya pak. (Sambil menghapus airmata.)

Bapak: “Bapak dah terima sms dari kamu. Kamu beneran mau pakai cadar???

“Aku: “I..i..iyya pak..”

Bapak: “Ya udah…kalau mau pakai cadar, pakai cadar saja. Asal hati harus lembut ya nak…

“Aku: “Hah??” (Dalam keadaan yang masih belum percaya, tiba2 sikap
bapak berubah 180 derajat.) Beneran pak??”

Bapak: “Iya nak… mana mamamu? Bapak mau bicara.”

Akhirnya bapak bicara ke ibu, dan dari percakapannya ibu mengatakan kalau bapak mengizinkan aku pakai cadar. Ibu dilarang untuk melarangku bercadar. Masih belum percaya dengan keputusan bapak, akupun membaca sms yang dikirimkan bapak kepadaku sesaat sebelum beliau menelponku, “ya udah kalau kamu mau pakai cadar bapak izinkan, ingat ya, hati harus lembut..janji ya..” Alhamdulillah, bapak benar-benar mengizinkanku.

Dan akhirnya. Bismillah. Tepat tanggal 5 Ramadhan, aku pun keluar dari rumah pertama kali dengan menggunakan cadar yang menutupi wajahku. Tak henti-hentinya aku mengucapkan syukur di atas angkot dan airmata terus saja mengalir karena akhirnya pertolongan Alloh datang juga setelah 3 hari diriku harus menangis di kamar tanpa henti. Diboikot oleh orang tua sendiri. Yaa, akhirnya akupun memakainya. Semoga pakaian ini akan terus kukenakan hingga ajal menjemput. Amin, Allohumma amin. “yaa muqallibal qulub tsabbit qalbi ‘ala diinik.“