Sunnah Nabi Shalallaahu alaihi wasalam merupakan sumber hukum
syari’at Islam yang ke dua setelah al Qur’anul Karim. Keberadaan sunnah
bisa merupakan pendukung dan penguat kandungan al Qur’an. Bisa pula
sebagai tafsir dan penjelasannya. Dan secara terpisah, as-Sunnah juga
merupakan landasan tasyri’ (penetapan hukum) yang melahirkan berbagai
hukum, serta merupakan nash (ketetapan) untuk menghalalkan ataupun untuk
mengharamkan sesuatu yang tidak tercantum di dalam al Qur’an.
Namun
sangat disayangkan, masih ada sebagian orang yang mengaku muslim,
namun menolak sunnah secara total. “Al Qur’an telah cukup”, begitu kata
mereka. Tidak diragukan lagi, anggapan dan ucapan seperti itu adalah
kedustaan, bahkan dengan begitu mereka telah mendustakan al Qur’an dan
sekaligus as Sunnah. Bukankah al Qur’an telah memerintahkan untuk
mengambil apa saja yang datang dari Nabi Shalallaahu alaihi wasalam dan
menjauhi apa yang dilarang beliau? Sebagaimana firman Allah,
“Apa
yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang
dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertaqwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya”.
(QS. 59:7)
Ada pula
kelompok tertentu yang memilah-milah Sunnah Nabi Shalallaahu alaihi
wasalam, yakni mengambil sebagian yang cocok dengan selera dan akalnya
saja. Sementara apabila akal dan seleranya tidak cocok, maka dia tolak
sunnah tersebut. Sikap seperti ini telah melanda seba-gian besar kaum
muslimin. Bahkan terkadang -karena saking bodohnya- ia berani menentang
sunnah, bahkan menghujatnya.
Ada juga kelompok yang
menerima sunnah dan tidak menolaknya. Akan tetapi, memahaminya dengan
berbagai ta’wil (interpretasi) yang jauh dari kebenaran. Seperti
dilakukan oleh sekelompok orang yang silau kepada budaya barat (baca:
Yahudi dan Nashara). Mereka menggulirkan faham sesat lagi memurtadkan,
yaitu pluralisme dan inklusifisme. Faham ini menyejajarkan Islam dengan
agama-agama lain. Semuanya diyakini benar dan diridhai Allah. Mereka
tidak tahu atau pura-pura lupa dengan firman Allah,“Orang-orang Yahudi
dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu sehingga kamu mengikuti agama
mereka. Katakanlah, “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang
sebenar-nya)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka
setelah pengetahan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi
pelindung dan penolong bagimu.” (QS. 2:120)
Sementara itu
sebagian kaum muslimin juga ada yang menyikapi sunnah Nabi dengan sikap
meremeh-kan. Kalau mereka diajak untuk melaksanakan sunnah Nabi
Shalallaahu alaihi wasalam, mereka beralasan, “Ah itu kan cuma sunnah.
Padahal yang dimaksud sunnah di sini adalah hadits, perilaku dan jalan
hidup Nabi Shalallaahu alaihi wasalam di dalam ber-Islam, yang boleh
jadi itu adalah wajib diyakini dan wajib dilakukan, seperti shalat
fardhu berjama’ah, berumah tangga sesuai tuntunan Islam, menjawab salam
dan sebagainya. Orang seperti ini, telah salah persepesi, yakni
beranggapan kalau menekuni sunnah nabi berarti mengubah hukum dari
sunnah menjadi wajib. Demikian pula, jika mereka diingatkan supaya
tidak melakukan perbuatan yang dibenci oleh syari’at, mereka berdalih,
“Ini hanya makruh saja.”
Kepada mereka perlu ditanyakan, andaikan
ada dua pilihan perbuatan, yang satu hukumnya sunnah dan yang lain
adalah makruh, maka apakah masih juga memilih yang makruh daripada yang
sunnah? Apakah ada shahabat Nabi Shalallaahu alaihi wasalam yang
menanyakan sesuatu, kemudian setelah tahu bahwa itu sunnah mereka
meninggalkannya? Dan ketika tahu, bahwa itu adalah makruh, kemudian
mereka justru mengerjakan?”
Kedudukan As Sunnah di dalam Al Qur’an
Perlu
diketahui bahwa patuh dan ta`at kepada Rasulullah Shalallaahu alaihi
wasalam adalah patuh dan tekun menjalankan Sunnahnya, mengamalkan. Dan
patuh kepada Sunnah berarti patuh dan taat kepada Allah Subhannahu wa
Ta’ala . Berikut ini dalil-dalilnya:
Perintah ta`at kepada Allah dan kepada rasul-Nya, disebutkan secara bergandengan di dalam al-Qur’an:
“Hai
orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan
janganlah kamu berpaling daripada-Nya, sedang kamu mendengar
(perintah-perintahnya)” (QS. 8:20)
Dan di dalam ayat yang lain desebutkan, artinya:
“Hai
orang-orang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila
Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu”
(Qs.8:24)
Allah menegaskan, bahwa petunjuk (hidayah) itu sangat tergantung kepada ketaatan dan ittiba’ kepada Nabi Nya.
“Nabi
yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya
(kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk” (QS.
7:158)
Dan firman Nya,
“Katakanlah, “Ta’atlah
kepada Allah dan ta’atlah kepada Rasul; dan jika kamu berpaling maka
sesungguhnya kewajiban rasul hanyalah apa yang dibebankan kepadanya,
kewajiban kamu adalah apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu ta’at
kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk” (An Nur: 54)
Allah
telah menetapkan rahmat Nya bagi para pengikut Nabi Shalallaahu alaihi
wasalam, dan menjanjikan keberuntungan dan kesuksesan di dunia dan di
akhirat atasnya.
“Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu.
Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertaqwa, yang
menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami”.
(QS. 7:156)
Dalam kelanjutan ayat di atas disebutkan,
“(Yaitu)
orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi …. Hingga pada firman
Allah, “Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya,
menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya
(al-Qur’an). Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. 7:157)
Sahnya
iman seseorang sangat tergantung kepada kepatuhan terhadap keputusan
Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam, menerima dan lapang dada atas
keputusan itu.
“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya)
tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang
mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa kebera-an dalam hati
mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan
sepenuhnya.” (QS. 4:65)
Di dalam ayat yang lain Allah menegaskan,
“Kemudian
jika kamu berlainan penda-pat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan Hari Kemu-dian.” (QS. 4: 59)
Demikian pula firman Allah di dalam surat al Ahzab ayat 36, dan selainnya.
Allah
telah memperingatkan bahwa menyelisihi Rasul Shalallaahu alaihi
wasalam merupakan sebab kehancuran dan terjerumus dalam fitnah.
Sebagaimana yang telah difirmankan,
Artinya, “Maka hendaklah
orang- orang yang menyalahi perintahnya (Rasul) takut akan ditimpa
cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. 24:63)
Orang yang tidak mengikuti jalan rasulullah, niscaya menyesal pada Hari Kiamat kelak, sebagaimana Allah berfirman,
Artinya,
“Dan (ingatlah) hari (ketika) orang yang zalim itu menggigit dua
tangannya, seraya berkata, “Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan
(yang lurus) bersama Rasul. Kecelakaan besarlah bagiku; Kiranya aku
(dulu) tidak menjadikan si fulan jadi teman akrab(ku).” (QS. 25:27-28)
Allah telah menetapkan bahwa cinta Allah dan ampunan-Nya hanya bisa diraih dengan mengikuti Rasul -Nya:
Katakanlah,
“Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (QS. 3:31)
Demikian penjelasan dari al-Qur’an yang
mengajak kita semua kaum muslimin untuk berpegang kepada sunnah Nabi
Shalallaahu alaihi wasalam . Karena segala ucapan beliau yang berkaitan
dengan agama bukanlah berasal dari kemauan hawa nafsunya, tetapi atas
bimbingan wahyu Allah.
Penjelasan dari As Sunnah (Hadits)
Amat
banyak hadits Nabi yang memerintahkan setiap muslim untuk mengikuti
sunnah Nabi Shalallaahu alaihi wasalam, dan melarang berbuat bid’ah
(menyelisihi sunnah). Di antara sabda Nabi yang menegaskan hal itu
adalah:
Sabda Nabi Shalallaahu alaihi wasalam,
Artinya,
“Seluruh umatku akan masuk surga kecuali orang yang enggan.” Lalu
ditanyakan, Siapakah yang enggan wahai Rasulullah? Beliau menjawab,
“Barang siapa yang taat kepadaku, maka masuk surga, dan barang siapa
yang bermaksiat kepada-ku maka dia telah enggan (masuk surga)” (HR. Al
Bukhari)
Sabda Nabi Shalallaahu alaihi wasalam,
Artinya,
“Biarkan aku dengan apa yang telah kutinggalkan untuk kalian
(terimalah ia), sesungguhnya yang telah membinasakan orang sebelum
kalian adalah (disebabkan) mereka banyak bertanya dan banyak menyelisihi
nabi mereka. Jika aku melarang kalian dari mengerjakan sesuatu maka
jauhilah, dan jika aku memerintahkan sesuatu maka laksanakanlah sesuai
kemampuan kalian.” (Muttafaq Alaih)
Sabda Nabi Shalallaahu alaihi wasalam (dalam hadits ‘Irbadh bin Sariyah), di antara potongannya,
“Hendaklah
kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah Khulafa’ ar Rasyidin yang
telah mendapatkan petunjuk. Gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham
(perpegang eratlah terhadapnya), dan jauhilah perkara-perkara yang
diada-adakan (dalam agama), karena setiap yang diada-adakan adalah
bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR Abu Dawud dan at Tirmidzi
dan berkata at Tirmidzi, “Hasan Shahih”)
Sikap Shahabat Nabi terhadap As Sunnah
Berkata
Abu Bakar as Shiddiqz, “Tiada sesuatu pun yang pernah dilakukan oleh
Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam, kecuali aku melakukannya dan
tidak pernah aku meninggalkannya. Aku khawatir jika aku meninggalkan
sedikit saja yang beliau perintahkan, maka aku akan menyimpang.”
Berkata
Umar bin Khaththab Radhiallaahu anhu ketika memegang hajar aswad,
“Sung-guh aku tahu engkau hanyalah batu yang tidak memberi madharat dan
manfaat, kalau bukan karena aku melihat Rasulullah Shalallaahu alaihi
wasalam menciummu, maka tentu aku tidak akan menciummu.”
Ali bin
Abi Thalib Radhiallaahu anhu berkata, “Aku tidak pernah meninggalkan
sunnah Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam karena ucapan seseorang”
Abdullah
Ibnu Mas’ud mengatakan, “Sederhana dalam melaksanakan sunnah, lebih
baik daripada banyak dan giat di dalam melakukan bid’ah.”
Ibnu
Umarzapabila sedang meniru Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam , maka
orang yang melihatnya mengira ada sesuatu yang tidak beres padanya
(seperti tidak wajar). Bahkan Nafi’, maula (klien) beliau mengatakan,
“Kalau aku melihat Ibnu Umar sedang mengikuti sunnah Nabi SAW sungguh
aku mengatakan, ini adalah sesuatu yang gila.”
Ibnu Abbas juga
pernah berkata, “Wahai manusia, aku khawatir kalau turun hujan batu
dari langit, (lantaran) aku katakan pada kalian sabda Rasulullah
Shalallaahu alaihi wasalam, lalu kalian menyanggah dengan mengatakan
“Abu Bakar berkata begini dan Umar berkata begitu!.”
Wallahu a’lam